Selasa, Februari 22, 2011

Sekitar Byline



Agus Sopian
Pada kebanyakan suratkabar mainstream di Indonesia, byline cenderung dianggap sebagai penanda otoritas. Mereka yang diberi byline umumnya hanya wartawan yang dinilai sudah memiliki jam terbang relatif lebih lama, senior, mumpuni, menguasai detil permasalahan, atau bahkan diposisikan sebagai opinion leader dalam jagat jurnalisme di Indonesia. Selain dari mereka, haram diganduli byline.

Ada yang lebih ekstrem lagi. Label byline hanya boleh dicantumkan pada penulis artikel opini, analis, kolumnis. Di sini byline kemudian menjadi penanda "obyektivitas" . Sengaja saya menaruh tanda kutip pada "obyektivitas" mengingat pendekatan ini lahir dari kerangka yang salah kaprah mengenai makna obyektivitas. Sungguh malang, kesalah-kaprahan itu berakar kuat dalam tradisi dan konvensi pers di Indonesia selama puluhan tahun, dan lestari hingga kini.

Perihal byline yang saya maksudkan dalam diskursus kali ini adalah baris nama setelah judul, seperti juga label "Agus Sopian" sebelum tulisan masuk ke dalam intro. Dalam tradisi pers dunia, terutama Amerika Serikat, byline sama sekali bukanlah penanda otoritas, juga "obyektivas" . Byline semata-mata sebagai penanda akuntabilitas.

Paralel dengan argumen itu, mereka yang mendapatkan byline bukan hanya para penulis opini, analis, kolomnis, atau wartawan mumpuni, tetapi wartawan seumumnya -- reporter hingga redaktur. Sebagai penanda akuntabilitas, byline dimaksudkan agar wartawan dapat mempertanggungjawab kan tulisannya di depan publik. Ada sekelumit kisah di balik ini.

Tersebutlah Charles S. Taylor, seorang jenderal yang banting setir jadi penerbit suratkabar pagi The Boston Globe, sepulang dari medan perang saudara di Amerika. Ia acap senewen pada ulah wartawannya yang acap menulis sembrono. Taylor putar otak dan memutuskan untuk mencantumkan nama wartawan pada berita yang dibuatnya. Ajaib, wartawannya kini lebih berhati-hati dan berusaha untuk memperbaiki mutu tulisannya. Ia barangkali tak ingin menjadi sasaran ejekan kolega-koleganya, baik dalam pergaulan internal maupun internal.

Jurus Taylor, yang dijalankan pertama kalinya sejak 1850-an, diikuti oleh suratkabar-suratkab ar lainnya. Praktis sejak pertengahan paruh kedua abad ke-19, byline menjadi gejala yang menyeluruh. Dewasa ini hampir semua suratkabar di negara maju menggunakan byline.

Di Indonesia, byline baru mulai bersemi sejak awal abad ke-21, yang dimulai oleh majalah Pantau, kemudian suratkabar-suratkab ar mainstream seperti The Jakarta Post, Kompas, Bisnis Indonesia, Sinar Harapan dan lainnya. Dihitung dari tahun pemakaian pertama, Indonesia nyata-nyata ketinggalan sekira 1,5 abad lamanya. Selama kurun itu, Indonesia -- jika pers di zaman kolonial dianggap punya garis sambung dengan pers Indonesia hari ini -- kita tenggelam dalam pemahaman keliru tentang byline.

Bahkan, kekeliruan itu masih merajalela di benak para wartawan akibat kemalasannya dalam meng-update pengetahuan jurnalismenya. Bisa dipahami bila hingga detik ini masih banyak suratkabar yang menggunakan inisial si wartawan di ekor berita. Keadaan ini sekaligus mencerminkan betapa reformasi dalam politik media di Indonesia tak dibarengi oleh keseriusan para praktisinya untuk menerapkan standar jurnalisme yang benar, sekaligus responsif terhadap pergerakan bandul zaman.

Endemi dalih yang diidap oleh para wartawan berhaluan kadaluarsa alias "jadul" adalah bahwa seorang wartawan tak pantas menonjolkan diri. Ia harus bersembunyi di balik nama besar institusi, dan dengan demikian, ia bisa mempertahankan "obyektivitasnya" . Dalih semacam ini amat mudah dipatahkan: sekurang-kurangnya oleh pertanyaan apakah koran-koran macam The Jakarta Post, juga The New York Times atau The Washington Post kemudian kehilangan obyektivitasnya lantaran seluruh wartawannya menggunakan byline?

Upaya mencari makna obyektivitas adalah kontroversi laten sepanjang sejarah jurnalisme dan demokrasi. Dan obyektivitas dari sisi endemi dalih semacam tadi lahir dari pemahaman salah, yang diwariskan Leo Rosten ketika menafsir tesis Walter Lippmann, salah satu bapak jurnalisme Amerika.

Rosten, yang sempat melakukan suatu studi sosiologis berpengaruh tentang wartawan, menafsir obyektivitas sebagai pilihan wartawan untuk mencoba netral, dan "netral" diterjemahkan sebagai usaha untuk tak berpendapat sama sekali. Wartawan hanya meminta komentar dari sana-sini, dan karena tulisannya hasil minta-minta itu, si wartawan tak layak mencantumkan byline.

Netralitas ala Rosten adalah netralitas ilusif, yang notabene menjadi obyektivitas yang ilusif juga. Sejak memilih sumber berita, menentukan angle, merancang alur tulisan, wartawan sudah memainkan opininya. Ia tak lagi netral, tak lagi bisa "obyektif". Di sinilah kesalahan tafsir Rosten.

Bagi Lippmann, obyektivitas yang dimaksudkannya adalah metode, dan bukan tujuan, termasuk di dalamnya tujuan untuk mencapai netralitas itu. Lippmann menganjurkan agar wartawan memiliki semangat ilmu pengetahuan, dengan obyektivitas sebagai kerangka metodenya.

Berlawanan dengan subyektivitas, obyektivitas telah lama menjadi basis penelitian kaum intelektual untuk mencari data-data dan fakta-fakta yang dinilai memiliki validitas. Sampai pada poin ini, obyektivas jelas bersandar sepenuhnya pada pengukuran-pengukur an menurut tatacara dan tradisi yang ilmiah. Jurnalisme adalah sesuatu yang ilmiah, bukan rangkaian lamunan, bukan kumpulan fantasi.

Kini, Anda tak punya dalih apapun untuk mencoba bertahan hidup dalam suratkabar tanpa byline. Satu-satunya benteng pertahanan yang tersisa adalah mengorupsi kebenaran sejarah. Tapi ingat saja, teoritis hanya kaum fasis yang terbiasa melakukan hal itu.

*** Dimuat Jurnal Nasional, Sabtu 1 Maret 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar